Kita dan Satuan Kita

"Beranalogi hadir karena kita belajar tentang hal kecil di sekitar kita."

Satu hari, seorang gadis berjalan disebuah mall di dekat rumahnya. Layaknya mall, di sana menjual berbagai macam kebutuhan, dari kebutuhan primer hingga kebutuhan sekunder; mulai dari ikan segar yang dijual di hypermart hingga kain sasirangan sebagai oleh-oleh dari Kalimantan. Gadis itu niatnya memang ingin membeli kebutuhan rumah yang sudah mulai habis, untuk menghemat waktu ia memilih untuk pergi ke mall agar ia tidak perlu pergi terlalu jauh untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan yang ia cari.

Tujuan pertamanya adalah hypermart, ia pergi ke bagian penjualan buah berniat membeli buah alpukat untuk dirinya.

"Bunda, aku mau nya buah jeruk satu meter." Ucapan seorang anak kecil berhasil mengalihkan perhatian gadis tadi.

Gadis itu tersenyum, anak itu sangat polos. 

"Kalo buah itu pake kilo, bukan pake meter nak," ucap sang ibu sambil memilih-milih alpukat yang ia beli.

"Ohh, yaudah, aku mau jeruk satu kilo, aku ga suka alpukat rasanya aneh." Anak kecil itu berbicara kembali.

Gadis itu  melihat sang ibu tersenyum, "Bunda ga maksa kamu untuk makan alpukat kok kalo kamu ga suka. Habis ini kita beli jeruk ya," ibunya menjawab sabar.

Gadis itu tersenyum mendengar  percakapan kecil itu, ia kemudian melanjutkan kegiatannya memilih alpukat untuk dirinya, sekilas ia melihat ibu dan anaknya tadi sudah pergi entah kemana. Setelah menyelesaikan pembelian alpukat, gadis itu melanjutkan pergi ke sebuah restaurant Jepang yang tidak jauh dari hypermart. 

Seakan masih jodoh, ternyata ibu dan anak tadi juga makan di tempat yang sama, duduk di depan gadis itu.

"Bunda, aku mau salmonnya satu kilo!" Ucapnya semangat.

"Kalo kamu mau beli ikan salmon satu kilo harusnya di hypermart tadi."

"Disini? Orangnya gamau jual?"

"Bukan gamau, tapi ga bisa nak. Kita beli dua porsi aja yaa.."

Gadis itu kembali tanpa sengaja mendengar percakapan kecil itu. Anak itu sangat polos, di matanya semua barang sama satuannya, benar-benar polos.

Makanan tiba, tapi justru gadis itu mulai memikirkan hal yang lain...

Iya,  ya?

Apakah kita hanya seorang anak kecil yang polos yang memandang dunia? Seakan-akan semua kita ukur berdasarkan alat ukur dan satuan kita, seolah-olah orang lain juga harus sama dengan "penggaris" kita hingga tanpa sadar orang lain juga memiliki alat ukur dan satuannya sendiri.

Mungkin ya, kita adalah emas yang bisa diukur dengan neraca ohous dengan satuan gram; mungkin teman dekat kita adalah sebuah kain yang diukur dengan meteran dengan satuan meter; mungkin pasangan kita adalah buah yang diukur dengan neraca analog dengan satuan kilogram; juga tentang orang lain yang mungkin punya alat ukurnya sendiri dan satuannya sendiri. Sehingga dalam keadaan ini, apakah kita adil untuk mencoba menilai kehidupan orang lain dengan satuan dan alat ukur kita, padahal kita tidak pernah tau bagaimana satuan dan alat ukur  mereka? Analogikan keadaan dimana kamu memotong dua kain tanpa hitungan meter lalu kamu mengukurnya dengan neraca digital hingga beratnya sama-sama satu kilogram, setelah dibentangkan ternyata kain tersebut tidak sama panjangnya, meski mendekati namun ukurannya tidak persis sama, beda halnya ketika kain tersebut diukur dengan meteran dengan satuan meter, beratnya akan sama dan panjangnya akan sama.

Maksudku adalah, dengan segala hal yang telah kita lalui di dunia ini, kita tidak akan pernah adil untuk memproyeksikan keadaan kita dengan keadaan orang lain. Sebuah kasus, hanya dalam waktu dua hari kita sudah merasa benar-benar move on dari kenangan mantan kita; di sisi lain seorang sahabat kita sudah hampir setengah tahun namun belum juga benar-benar move on dari mantannya. Lalu kita dengan entengnya menganggap bahwa ia telah gagal, padahal kita tidak pernah tahu seberapa ia berusaha untuk mengalihkan perasaannya? Kita tidak pernah tau dalam proses move on nya mungkin saja ia mempelajari hikmah-hikmah yang ia ambil dari kisah sebelumnya, bisa jadi dalam proses move on nya ia mencoba mengenali dirinya lebih banyak lagi. Kita hanya bisa melihat luar orang lain, kita tidak pernah benar-benar menjadi dirinya dan kita tidak pernah  benar-benar paham keadaannya. Mau seadil apapun kita dalam menilai ia berdasarkan tolak ukur kita, ukurannya tidak akan pernah sama, karena satuan dan alat ukur kita setiap manusia memang berbeda-beda.

Contoh lain ketika kita mulai merasakan iri terhadap teman kita yang ditakdirkan lahir dari keluarga berada, segala kebutuhan dan keinginannya dapat dipenuhi oleh orangtuanya; kita memproyeksikan keadaannya dengan keadaan kita yang harus berusaha keras untuk mendapatkan uang agar kita bisa membeli barang yang kita butuhkan dan kita inginkan. Lalu lebih jauh lagi, kita mulai merasa Tuhan tidak adil dalam menciptakan takdir manusia. Padahal, siapa kita? Hanya orang awam yang tidak pernah paham maksud baik Tuhan. Kita menggunakan ukuran kita untuk mengukur keadilan Tuhan, itu tidak akan pernah mungkin. Bisa jadi kamu dipilih Tuhan untuk berusaha lebih keras untuk mendapatkan apa yang kamu mau agar kamu bisa belajar disana, bisa jadi Tuhan percaya atas kemampuan kamu, bisa jadi juga kamu manusia pilihan Tuhan yang mampu akan tugas itu. Lalu apakah adil juga untuk kita berasumsi bahwa teman-teman kita yang kebutuhannya dapat penuhi oleh orangtuanya tidak sekuat dan sehebat kita? Tentu tidak. Dalam satuanmu dan dalam alat ukurmu, kamu tidak akan pernah tahu sejauh mana ia belajar untuk kehidupannya, tentang apa yang harus ia alami, tentang cobaan apa yang Tuhan titipkan kepadanya dan kita juga belum tentu sekuat mereka jika diberikan cobaan tersebut.

Pada akhirnya, kita hanya harus fokus pada diri kita sendiri, pada takdir yang sedang kita alami. Kita tidak harus membandingkan sejauh mana perjalanan kita dengan perjalanan orang lain, kita hanya perlu terus berjalan, itu saja. Kita hanya perlu berprogres untuk lebih baik dibandingkan diri kita sebelumnya. Kita hanya harus terus fokus terhadap satuan dan alat ukur kita tanpa mencoba mencampuri alat ukur dan satuan orang lain. Berhenti untuk menghakimi perjalanan orang lain menganggap orang lain tidak sehebat kita; juga berhenti untuk menganggap diri kita tidak seberuntung orang lain karena kita punya perjalanan diri kita sendiri.

Tulisan ini diperuntukan untuk diriku sendiri karena hingga tulisan ini dibuat masih terlalu sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain, merasa insecure, tidak cukup kuat dan keren. Pavita, u did everything soo good. Terimakasih untuk mencoba selalu berprogress dalam setiap harinya, mempelajari hal baru dan tidak larut dalam kesedihan. Suatu saat kalau kamu baca blogg  ini lagi, kamu harus sudah berada di titik yang lebih baik dari sekarang ya  Pav, terima kasih...

- Pavita Avissa
Blogg ini di tulis di Younki's Pizza, Banjarbaru. Selesai ditulis pukul 09:14 PM.

Comments

  1. Ternyata saya tidak sendiri, thank you so much untuk tulisan blog ini. Keep smile and healthy.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Hubungan Kita Sudah Lama...

Kenapa Aku Lelah menjadi Pasangannya...

Tentang Buku, Penulis dan Sang Editor