Lilin Si Bijaksana

Suatu hari, pukul sepuluh lewat lima belas menit, di sebuah ruangan yang senyap. Keadaan sunyi meski masih ada beberapa suara dari luar ruangan yang masuk ke dalam. Di dalam kamar, seorang perempuan tertidur cukup lelap setelah melewati hari yang cukup panjang tadi siang.

"Jeglegg!!" sebuah suara dari samping pintu kamar terdengar.

"Aduh, listrik padam!" beberapa suara dengan maksud serupa terdengar dari luar ruangan, suara itu berasal dari penghuni kamar kos lain yang mengeluh serentak. "Habis token atau emang listriknya padam?" tanya seseorang. "Listrik padam ini mah, disebrang sana juga mati lampu," jawab yang lain.

Di dalam kamar, diam-diam lilin merekam percakapan manusia-manusia di luar kamar. Ia mulai berpikir, mungkin sebentar lagi dia akan dibutuhkan untuk menerangi kamar ini. "Eunghh," Avissa si pemilik kamar membuka matanya setelah mendengar keributan di luar kamar. Ia terbangun dari tidur nyenyaknya dan menyadari bahwa listrik telah padam. Namun sayangnya lelah ditubuhnya terlalu menguasainya hingga rasanya tidak ada kesanggupan untuk bangun dari tempat tidurnya.

"Aku benci keadaan gelap ini," 

Lilin melihat keadaan disekitarnya, dalam hatinya ia merasakan sedikit kebingungan. Apakah ia salah dengar tadi? Apa ada benda lain yang juga bisa berbicara? Apa hanya halusinasi lilin saja?

Mata lilin melihat ke segala arah sambil mencari siapa pemilik suara tadi. Avissa? tidak mungkin, suaranya beda dengan suara gadis yang setiap hari ia dengar itu. Suara ini terdengar seperti suara benda, entah apa itu.

"Hallo!" suara itu ada lagi, kali ini suara itu berada tepat disamping lilin. "Kau? kau bisa berbicara sama seperti aku?" Lilin memandangi benda di depannya dengan penuh perhatian. "Hallo lilin, aku korek, dan ya aku bisa berbicara sama sepertimu." Lilin masih diam dengan perasaan terkejut yang masih ada. "Walaupun hanya kita yang bisa mendengarnya," lanjut korek. "Dia, dia juga tidak bisa mendengar aku berbicara." sambung korek sambil melihat ke arah Avissa yang memilih untuk melanjutkan tidurnya.

"Ah... aku paham," jawab lilin.

Korek jalan mendekat, "Aku bisa membuat api jika kau mau," dengan wajahnya yang berbinar. "Dengan api kita, kita bisa membuat ruangan ini sedikit terang," lanjut korek. Lilin diam, melihat ke arah Avissa yang tidur, "aku bisa membuat api-mu terus menyala, tapi.."

"Apa? Kenapa?" korek mendekat mencari jawaban. "Dia tidak menyalakan api mu, akan aneh jika api ini menyala dengan sendirinya." jawab Lilin sambil melihat ke arah Avissa dan korek secara bergantian. "Api terlalu bahaya, dia bisa membakar apa saja."

"Dia tidak akan ingat bahwa menyalakan lilin, dia tertidur sangat pulas." Sesuatu dari samping cermin terdengar bersuara. Sebuah binatang keluar dan terbang mendekati korek dan lilin. "Menurutku, buat saja api itu, nyalakan saja lilinnya."

"Aku memang benci keadaan gelap ini, aku bisa membuatnya menjadi terang kalau aku mau, tapi..." Korek menahan ucapannya, jelas ada keraguan disana. "Betul kata lilin, api terlalu bahaya."

"Kalian tahu? aku sangat membutuhkan cahaya kalian untuk hidup, aku sudah terbang hampir 30 menit tanpa arah karena aku tidak dapat melihat apapun." Ucap Laron, iya, binatang itu adalah laron.

"Disana," laron menunjuk ke arah pintu luar. "Banyak teman-temanku yang sama bingungnya dengan aku, terbang tidak tahu arah, berpencar, kehilangan keluarga dan teman-temannya." Laron melanjutkan ucapannya dengan sedikit nada sedih. Tentu, siapa yang tidak sedih karena kehilangan arah tujuan, terpisah dengan sanak saudara dalam hitungan detik akibat listrik padam? "Setidaknya dengan cahaya kalian, kami bisa kembali mencari saudara dan teman-teman kami." Lanjutnya lagi.


Korek dan lilin saling melirik, "Avissa akan terkejut jika melihat kita menyala." ucap korek. "Manusia terlalu mudah lupa, dia terlalu lelah hari ini bekerja." Laron kembali ikut bergabung untuk bicara. "Aku yakin, saat bangun nanti pun dia mungkin akan menganggap bahwa ia mengigau malam tadi untuk menyalakan lilin." Laron kembali mencoba meyakinkan.

"Akan berbahaya jika kami hidup, api bukanlah sebuah sifat bersahabat, dia bisa membakar siapapun." jawab korek lagi menekankan. "Bahkan membakar diri kami sendiri," sambung lilin.

Terjadi keheningan beberapa detik diantara mereka, "Awww," Laron merintih tiba-tiba, mengalihkan pandangan lilin dan korek secara bersamaan melihat ke arah laron. "Sayapku patah, sekarang aku bahkan tidak bisa terbang." Laron kembali merintih. "Darah, aku bahkan sedikit berdarah sekarang."

Laron mengambil beberapa langkah untuk menjauh, membiarkan lilin dan korek untuk berpikir. "Sepertinya kita harus menyalakan cahaya kita." lilin mulai bersuara. "Apa kau yakin?" korek bertanya. "Tentu, aku harus bijaksana sekarang, aku harus mencari cara agar aku bisa lebih banyak menyelamatkan mereka." "Bagaimana dengan Avissa?" tanya korek. "Laron benar, manusia cepat melupakan sesuatu, saat bangun besok dia mungkin lupa bahwa sudah menyalakan kita tadi malam." jawab lilin.

Lilin berjalan mendekat dengan korek, "kau yakin?" korek kembali menanyakan. "Ya, tentu." "Kau bahkan satu-satunya yang tersisa disini. aku? masih banyak stik korek lain yang bisa dibakar." Lilin diam, menarik nafas panjang, ia sadar sebentar lagi ia akan habis dimakan oleh cahayanya sendiri. "Ya, jika itu bisa menyelamatkan yang lain kenapa tidak?" Korek mengangguk sedikit membenarkan, "Baiklah..."


Perlahan api dari korek mulai muncul, membakar stik korek tersebut perlahan. "Bakar aku." ucap lilin. Tak berselang lama, cahaya di lilin mulai tampak. Laron kembali menghampiri mereka dengan senyum simpul. "Sejak awal harusnya kalian melakukan ini." ucapnya. Lilin dan korek tersenyum, meski sekarang mereka sadar bahwa mereka perlahan-lahan akan menghilang dimakan sang api.

Cahaya tersebut menarik perhatian laron, sekiranya mungkin ratusan laron terbang mengejar cahaya lilin. Tampak kebahagiaan ada di raut wajah mereka saat kembali berkumpul bersama kawan dan keluarganya. Korek melihatnya bahagia, meski ia juga ikut khawatir dengan keadaan temannya, lilin. "Kau sudah kehilangan setengah tubuhmu." ucap korek. "Tak apa" jawab lilin sambil menahan sedikit sakit.

"Wow kau sudah melepaskan sayapmu!" ucap salah satu laron dengan nada bahagia. Korek dan lilin saling memandang dengan heran, kenapa mereka harus bahagia ketika sayap mereka patah dan tidak bisa terbang, bukankah itu menjadi bencana untuk mereka? Bukankan laron tadi merasa kesakitan dengan sayapnya yang lepas? "Selamat! Selamat!" ucapan itu mulai banyak terdengar dari kumpulan laron yang saling memberikan selamat satu sama lain. Korek dan lilin semakin bingung, "Maksudku, kenapa kalian bahagia?" tanya lilin tidak tahan. "Itu artinya kami sudah sudah dewasa, kami menemukan pasangan kami, kami akan hidup bahagia bahkan lebih satu dekade lamanya!" ucap seekor laron dengan bahagia.

"Apa kita baru saja dimanfaatkan?" tanya korek. Lilin hanya diam tak menjawab.

Lilin tersenyum simpul, perlahan lahan waktu demi waktu tubuhnya terus meleleh, ia meleleh seraya menyaksikan kebahagiaan kumpulan laron. "Apakah membuat mereka menemukan pasangan mereka dengan cahaya kita adalah tindakan yang bijaksana?" korek memandangi lilin. "Apa sebenarnya kita bertanggungjawab dengan hal itu?" korek bicara lagi, "tidak, kita tidak bertanggungjawab dengan hal itu." korek menyimpulkan. Sedang didepannya kini lilin mulai kehilangan hampir tiga perempat tubuhnya.

"klekkk!!" lampu kembali menyala. Cahaya terang mengisi keseisi ruangan. Korek dan lilin saling melihat ke arah cahaya lampu yang lebih terang dan lebih mampu menerengi isi kamar, mereka menyaksikan laron yang mulai meninggalkan mereka. Laron yang tadinya berkumpul di meja untuk melihat cahaya lilin kini mulai menjauh terpencar dengan pasangannya masing-masing. Keadaan senyap, dari sebelumnya berisik akibat ratusan laron mendadak sepi. "Begitu saja mereka pergi? bahkan tidak ada terimakasih?!" korek mulai kesal. "Kau, kau bahkan hampir kehilangan dirimu seutuhnya!" korek berteriak ke arah lilin. "Aku kehilangan diriku sendiri dengan bijaksana, setidaknya semasa aku hidup, aku menuntun laron dengan pasangannya." jawab lilin.

"Apanya yang bijaksana?" korek mencemooh.

"Tidak ada kata lain yang menggambarkan situasi sekarang selain kebodohan dan kebijaksanaan." tutup cermin yang sejak tadi hanya menyaksikan kejadian antara kegelapan, lilin, korek dan laron.


Kadang, kita adalah seorang lilin yang mencoba untuk bijaksana merespon keadaan disekitar kita. Kita mencoba untuk menjadi orang yang paling memahami keadaan, seakan-akan dengan sikap andil kita, kita bisa merubah keadaan. Lilin lupa bahwa kegelapan hanya bagian dari fase untuk laron menemukan jalan keluar dari masalahnya, lilin lupa bahwa gelap itu hanya sementara, listrik akan menyala kembali, cahaya akan muncul lagi tanpa ia perlu mengorbankan dirinya. Lilin lupa bahwa sikap yang ia anggap bijaksana adalah sikap paling egois kepada diri sendiri, ia mengorbakan dirinya sendiri demi kebahagiaan orang lain. Juga tentang laron: manipulator ulung, menjual kesedihan demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Menipu seolah sayap patahnya adalah penderitaan, padahal patahnya sayap merupakan bagian dari fase kehidupan yang harus ia lalui.

Hingga akhirnya kita juga sadar bahwa terkadang untuk menjadi tidak bijaksana adalah sebuah sikap untuk menghargai diri kita sendiri. Lilin hanya perlu berdamai dengan kegelapan, bahwa meskipun malam itu listrik tak lagi menyala, esok pagi cahaya matahari akan masuk ke kamar dan menerangi ruangan. Lilin lupa bahwa banyak cara menjadi bijaksana, bijaksana tanpa menyakiti diri sendiri. Lilin lupa, bahwa laron hanya memanfaatkan cahayanya untuk kepentingan dirinya sendiri.


Kisah ini hanya tentang fantasi sebuah lilin, korek dan laron. Hiduplah dengan bijaksana, utamakan kebahagiaan kita diatas segalanya: karena pada akhirnya tempat pulang terbaik dirimu adalah dirimu sendiri bukan orang lain. Jika orang lain selalu mengutamakan kebahagiaan mereka, jadilah seperti mereka yang mengutamakan kebahagiaan untukmu pula.


Pavita Avissa.

Comments

  1. terimakasih sudah menjadi lilin yang baik, atas peran apapun yang akan kita ambil semoga kebaikan selalu membersamai kita. terimakasih banyak atas komentarnya yaa, sebuah kehormatan atas sanjungannya 😇

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Hubungan Kita Sudah Lama...

Kenapa Aku Lelah menjadi Pasangannya...

Tentang Buku, Penulis dan Sang Editor